World Through my Words

Tuesday, January 7, 2014

Cerita tentang kasih sepanjang jalan

Ini lho, yang saya suka dari bepergian naik bus, kereta dan berbagai kendaraan umum lainnya. I can see everything, and mostly open my eyes. Kemarin memutuskan nge trip naik kereta tapi keabisan tiket. Yaudah sih, ga ada kereta, bus pun jadi. Cuss ke Surabaya nge bus dan sampe Bungurasih, nyambung naek bus kota ke terminal Bratang. Dan…

Diseberang tempat duduk saya, ada bapak-bapak mungkin seusia ayah saya, dengan ibunya yang sepertinya lebih tua dari nenek saya #pentingbangetyaTit? . Menurut saya, bapak ini habis menjemput ibunya dari desa untuk diajak berkunjung kerumahnya di Surabaya. You know what, bapak ini sabaaar banget sama ibunya. Bapak ini membawakan tas ibunya (tas dari kain, ditenteng) trus tanya sama ibunya ” buk, ngombe ta? (bu, mau minum? “. Ibunya mengangguk lalu bapak itu turun sebentar dan membelikan ibunya minum. Emang dasar bis kota pasti ngetem nya lama, saya jadi mengamati dan memperhatikan bapak dengan ibunya ini.

Bapak ini tidak kaya, biasaaa sekali. Pakai sandal jepit. Ibunya juga pakai jarit dan atasan panjang, tak kalah sederhana. Ibunya kipas-kipas karena gerah. Bapak itu kembali dan membukakan sebotol Aqua kemudian memberikannya ke ibunya. “Sumuk ta buk? iki lho tissue ( gerah ya Bu? ini tissue bu) ” lalu bapak ini memberikan tissue untuk ibunya. Kemudian bis pun mulai berjalan. Sepanjang jalan, ibu itu suka tanya ” wah duwur e gedung e yo, apik tenan ( tinggi ya gedung-gedungnya, bagus-bagus” ketika bis melintasi City of Tomorrow. Bapak tadi tersenyum dan menjawab ” iyo buk, sesuk dolan rono po piye? ben weruh (iya bu, ibu mau kesana? besok ayo kesana, biar ibu tau)”. Ibunya mengangguk senang. Kemudian bis terus melaju dan keringat si Ibu semakin menetes karena Surabaya memang panasnya ampun-ampunan. Bapak ini mengeluarkan kertas koran lalu mengipasi ibunya. “tak kipasi buk ben ra sumuk (saya kipasin ya Bu, biar gak gerah) ” . Diem-diem saya meneteskan air mata. Saya terharu. Belom, cerita belum selesai. Setelah sampai terminal bratang, ibunya tanya “ngko teko kene, nek nyang omahmu numpak opo Le? (dari sini kalau kerumahmu naik apa Nak?)”. Anaknya menjawab ” mengko numpak angkot buk, terus mlaku sithik. nek kesel ngko mbecak ae, panas pisan (nanti naik angkot bu, abis itu jalan sedikit. Tapi kalau ibu capek dan gerah, nanti naik becak aja gapapa)”.

Lalu mereka pun masuk ke angkot. Dan saya duduk di bangku tunggu penumpang, sambil berpikir. Ya, ada yang bilang bahwa kasih orangtua sepanjang jalan tapi kasih anak hanyalah sepenggalan. Ketika si anak semakin dewasa, punya keluarga, maka prioritasnya akan bergeser kepada pasangan hidup dan anaknya. Atau ketika orangtua semakin menua, kita merasa mereka semakin merepotkan dan sikap kita bisa saja cenderung tidak sabaran. Tapi bapak tadi tidak. Bapak tadi menjemput ibunya, dengan segala keterbatasan finansial dan keadaan. Menjawab semua pertanyaan ibunya, meladeni ibunya dan dengan sabar menuruti setiap kehendak ibunya. Bapak itu sudah punya keluarga, tapi dia tidak lupa dengan ibunya.

Orangtua kita tidak butuh limpahan uang alih-alih kehadiran kita. Bagi mereka, kita datang kerumah dan menemani mereka makan siang sudah suatu hal yang begitu berharga. Mereka semakin renta, kita semakin sibuk dengan dunia. Tapi kita bisa menjadi anak yang mengasihi orangtuanya sepanjang jalan, hanya dengan hal-hal sederhana. Kemungkinan terbesar, adalah mereka pergi lebih dahulu dari kita. Dan ketika mereka sudah pergi, kita tak akan bisa lagi mendengar mereka bercerita tentang harga sayur naik atau artis TV yang bercerai, melihat mereka menyiram tanaman atau tertidur didepan TV dan menikmati tawa bahagia mereka ketika cucu-cucunya berlarian dirumah.

Our time is limited, but we have unlimited things to make them happy.


1 komentar:

© I'm Fireworks!, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena