World Through my Words

Tuesday, October 18, 2016

Cinta Itu...

Untuk orang seperti saya, cinta seperti kemewahan tersendiri yang saya kadang ragu akan eksistensinya. Mengingat hubungan terbaik seorang Titasya Anugraheni akhir-akhir ini adalah dengan seperangkat kasur bantal dan boneka, wajar jika menjalin asmara belum terbesit lagi dalam pikiran. Tapi diam-diam, saya menemukan cinta di banyak orang. Terlihat di mata, terasa di perhatian, dan terwujud dalam perbuatan. Di dalam otak, saya merangkum bahwa cinta itu...

Ketika suami sahabat saya, Aisyah Fitasari sedang tugas di Wonogiri. Mereka berdua tinggal di Jakarta, dan mau mudik lebaran. Pas banget hari tugas tersebut dekat dengan cuti bersama. Tapi Taqim tidak langsung pulang ke Pacitan (yang jaraknya cuma sejam dari Wonogiri!). Dia justru balik lagi ke Jakarta, menjemput sang istri. Kita tetap mudik bareng, aku temenin kamu menaklukkan arus pulang kampung, he said. Then they comeback home together, two days trip Jakarta-Pacitan. I call it, love :)
Saat pagi hari saya ke rumah teman, bertemu dengan Mbak Nie. Perempuan berhijab cantik ini ternyata mau ke Indomaret. Sayapun bertanya, mbak mau beli apa? Ia menjawab mau beli kopi untuk calon suaminya. "Didit itu nggak bisa minum kopi yang blablabla, dia cocoknya minum kopi merek ini," tuturnya. Iya, itu cinta :)
A photo posted by Nie (@just.nie) on

Saya dan Ani sudah berteman selama belasan tahun. Kondangan bisa dibilang quality time kami di masa kini. Ia biasanya meluangkan waktu untuk ngobrol dan ngafe dulu bareng sama saya setelah datang ke resepsi pernikahan. Padahal dia sudah punya dua anak dan semuanya balita. Tapi suaminya memberikan waktu dan kebebasan, gantian di rumah dan menjaga dua anak kecil itu. Ah, cinta memang penuh pengertian :")
A photo posted by Anydha Natassya (@anydha) on

Dua orang ini, dulu pas masih pacaran hobinya berantem trus baikan trus berantem lagi. Lucu-lucuan gitu kalau ngambek, trus abis itu ketawa-ketawa lagi. Dasar! Sekarang mereka long distance marriage. Jakarta-Pacitan bukan jarak yang dekat, tapi toh Jacob mengusahakan pulang tiap ada kesempatan. Kadang naik pesawat, sering juga pakai kereta. Road trip juga kadang-kadang. Demi bertemu Mita, dan menyenangkan istrinya itu agar tetap bahagia. Kamu kira libur dua hari dan dipakai perjalanan itu tidak melelahkan? Tapi namanya juga cinta, macet totalpun diterjang! ;)

Masih banyak cerita cinta lain yang bikin hati saya hangat. Karena ternyata, berjuang dan diperjuangkan itu bukan tentang kata-kata tapi lebih dari itu. Bagaimana kamu menjadi prioritas seseorang dan kamu juga memprioritaskan dia. Bukan hanya sekadar ucapan tapi juga tindakan. Love it's not a words to spelled, it's an act and proving.

Don't forget to fall in love, and loving as much as you can be <3 <3 <3
Read More

Wednesday, October 5, 2016

Quarter After One

"Kamu salah satu perempuan tangguh dan tahan banting yang pernah aku kenal."

Ia mengatakannya kepadaku beberapa kali, tanpa ada maksud memuji. Hanya mengungkapkan isi hati, dan rasa kagumnya saja. Namun perempuan yang menerima predikat itu, justru menangis sesenggukan tak kunjung reda, beberapa hari setelahnya.

"Aku capek, wajahku banyak wrinklenya. I don't want to run it anymore," - aku, dengan air mata berderai mengucur tak henti-henti.

Tanpa berkata, ia menggenggam tanganku dan menghapus bulir-bulir air mata yang membasahi pipi penuh jerawat ini. Berusaha menenangkanku, ia mengajak makan di warung ayam penyet favorit kami.

"Kalau kamu sudah tidak ingin, kamu bisa berhenti. Kamu masih punya pilihan," tuturnya sambil sesekali menyeka air mata yang entah kenapa tak berhenti mengalir setelah beberapa lama.

Aku masih terisak, tak tau lagi harus berkata apa. Otakku sudah keruh, butuh waktu untuk bisa kembali berpikir jernih seperti sedia kala. Aku hanya bisa menangis dan menangis, low point.

Hingga akhirnya aku pulang dan pagi harinya, menyadari satu hal. Di jam-jam orang sedang terlelap tidur, dia ada untuk memegangku agar tak jatuh di jurang kesedihan paling dalam. Dia berusaha memberikan opini dan solusi, dan yang terpenting adalah jemarinya menyapu air mataku hingga berkali-kali. Meski aku di keadaan seburuk itu, dia tak mengubah pandangannya mengenai aku yang tangguh dan tahan banting.

Ternyata menurutnya, aku sedang lelah dan berada di titik batas tertinggi. Sehingga semuanya meledak bersamaan, memporak-porandakan duniaku pada hari itu. Yang paling membuatku tak menyangka adalah, dia memaksaku makan karena tau berjam-jam sebelumnya aku tak mendapat asupan apapun.

Terimakasih, sudah menghapus air mata di tengah malam yang dingin. Melihatku dari balik gerbang kosan sampai aku tak terlihat dari pandangan. Memastikan aku tidur dan istirahat, terlepas dari penat. Jemari dan pandangan mata teduh itu, adalah alasan kenapa aku masih bisa tersenyum, sampai hari ini.
Read More

Monday, October 3, 2016

Cerita di Balik Goresan di Tangannya

Mungkin kamu pernah sekilas melihatnya saat ia tak memakai baju berlengan panjang. Ada beberapa goresan luka di tangan, jemari dan telapaknya. Meski tak terlalu kentara, tapi menyimpan cerita di setiap bekasnya.

Luka berbentuk bulatan kecil berwarna kemerahan di ujung telunjuknya itu, tercipta saat ia tertusuk jarum kala memasang kancing kemejamu yang terlepas. Waktu itu sudah larut malam, dan kamu berkata akan memakainya esok hari. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, diambilnya peralatan menjahit sederhana kemudian dengan kemampuan seadanya, berusaha menyelesaikan masalah yang ada.

Matanya sudah hampir tak mampu terbuka, tapi kancing itu tak kunjung usai terpasang juga. Akhirnya terjadilah, jarum menusuk ujung jarinya meski tak dalam tapi cukup membuatnya berdarah beberapa tetes. Ia tak mengeluh, menyapu cairan merah itu dengan tissue dan melanjutkan pekerjaannya.

Beranjak dari situ, ada goresan memanjang berwarna kecoklatan di pergelangan tangannya. Meski sehari-hari tertutup jam tangan serta gelang, namun terlihat mencolok di antara warna kulitnya yang putih merona. Ternyata, itu adalah 'kenang-kenangan' dari wajan panas yang tak sengaja ia senggol saat memasak di dapur.

Ia tahu bahwa kamu tak doyan makan jika bukan masakannya. Bangun sejak pagi, perempuan yang rambutnya kerap dikucir agar tak gerah itu berkutat di dapur. Memotong sayuran, mengupas bawang. Menggoreng ayam favoritmu, dan karena sedikit tak berhati-hati, tangannya terkena pinggiran wajan yang panasnya luar biasa.

Tak ada keluhan, ia mengambil pasta gigi di kamar mandi dan mengolesnya ke luka yang melepuh itu. Kemudian melanjutkan memasak seperti tak terjadi apa-apa, kemudian membangunkanmu untuk mandi dan bersiap kerja.

Satu yang terakhir, adalah luka seperti cengkok kecil di telapak tangannya. Membekas, tak bisa sembuh hanya dengan obat biasa. Mungkin kamu lupa, tapi itu adalah luka yang berawal dari usahanya membantumu membetulkan lampu yang mati di rumah.

Ketika kamu memanjat tangga, ia memegangi dari bawah. Tapi kejadian tak mengenakkan tiba-tiba saja datang. Obeng yang kamu pegang jatuh, mengenai tangannya. Lukanya menganga, hingga daging di balik kulitnya terlihat. Ia menangis menahan sakit, dan setelah segala obat yang dioleskan, hanya bisa menutup luka, tak bisa menghilangkan bekasnya.

Tangannya memang tak semulus artis Korea. Tapi tangan itu yang menyulap bahan makanan menjadi sepiring masakan lezat yang setiap hari kamu rindukan. Dua tangan itu yang memelukmu saat kamu merasa lelah luar biasa, sepulang bekerja. Dan tangan itu, yang selalu terbuka untukmu kapan saja, susah ataupun senang, suka ataupun duka.

Meski goresan-goresan itu membekas selamanya, tapi cerita di baliknya membuatmu tersadar bahwa: hanya cintanya kepadamu yang membuatnya tahan dengan segala perih saat luka-luka itu menyergapnya.


A photo posted by Davy Linggar Photography (@davylinggarphotography) on
Read More

Saturday, October 1, 2016

Ketika Ada yang Menetes dari Pelupuk Matanya

Sosok dengan wajah sederhana dan baju tak terlalu banyak gaya itu, adalah perempuan yang kamu lihat dan membuatmu jatuh cinta. Pada senyum lepasnya, pada candaan renyah yang ia lontarkan, dan pada tatapan mata penuh ketulusan saat memandangmu. Ketika ada keputusan besar yang kamu ambil, yaitu menjadikan dia teman hidup, sesungguhnya perjalanan ke depanlah yang jauh lebih berat.

Ketika mulai muncul percik-percik permasalahan. Selisih paham dan mungkin saja, berakhir dengan pertengkaran. Baik kamu dan dia sama-sama di titik didih, kata demi kata tajam menghujam meninggalkan perih. Entah siapa yang salah, yang pasti hari itu berakhir dengan amarah.

Tapi tahukah kamu, saat ia mendengar suara keras dan bentakanmu, hatinya luruh dan jatuh ke dasar kesedihan terdalam. Pecah berkeping-keping, bersama dengan hancurnya sisa-sisa waktu di hari itu. Ia memilih diam, tak berani lagi beradu argumen denganmu. Karena ia tahu, api bertemu api hanya akan menghasilkan abu.

Saat kamu marah luar biasa dan mendiamkannya, ia memilih tak mengeluarkan sepatah kata. Mencoba menghindari menyiram minyak ke dalam kobaran api, berdoa semoga kamu segera tenang dan terkendali. Hari-hari berikutnya dilalui dengan seperti dua orang asing terjebak dalam satu rumah, tak bertegur sapa apalagi bercengkrama.

Perempuan yang kamu minta dari Ayahnya untuk kamu jaga dan bahagiakan selamanya itu, tetap bangun pagi seperti biasa. Menyiapkan sarapan dan menyiapkan bajumu, dalam diam sembari berharap hatimu sudah luluh dan mengajaknya bicara. Tapi ternyata tidak, tatapan matamu tetap seperti melihat musuh saat memandangnya.

Ia tahu bahwa mungkin dirinyalah penyebab semua kekacauan ini terjadi. Berusaha sekeras tenaga, memperbaiki semuanya. Tapi apa daya, hatimu terkadang sekeras batu. Segores kecil kesalahan yang dibuatnya, membuatmu jadi kaku tak bisa dikompromi lagi.

Jika sudah tak menemukan alasan untuk memaafkannya, maka ingat-ingatlah lagi apa yang membuatmu jatuh cinta kepadanya. Betapa indahnya saat hatimu berdegup kencang ketika menunggu jawaban iya darinya. Saat kamu merindukan untuk bertemu dan memeluknya saat jarak sedang memisahkan kalian berdua. Ketika kamu mendekapnya dalam tidur, dan merasa ia adalah tempatmu bersandar dan mencari ketenangan paling hakiki di dunia.

Saat ada buliran air mata menetes dari matanya, itu bukan berarti separuh hatimu adalah orang yang lemah. Namun ia takut kehilanganmu, dan takut menyakitimu lebih dari ini. Terisak dengan suara tertahan, perempuan cantik yang kamu belai rambutnya dan kecup keningnya itu tak bisa lagi membendung kesedihan. Dia bisa apa? Segala upaya telah dilakukan bukan?

Semua orang bisa membuat kesalahan, tapi tidak semua orang pantas dilepaskan hanya karena hal tersebut. Salah satunya, teman hidupmu. Selama ia masih berniat baik meneruskan perjalanan bersamamu, dan meminta maaf meskipun lirih, hargailah. Kamu boleh marah, tapi sekali lagi tolong tatap matanya.

Mata itu, yang menyimpan cinta tak terhitung banyaknya untukmu. Dua bola mata berwarna kecoklatan itu yang terjaga di malam hari saat kamu sakit dan tak bisa tidur karena menggigil. Indera penglihatan itu yang selalu menemukan di mana barang-barangmu berada, kala kamu kesulitan mencarinya. Dan mata itu, yang selalu bisa membuatmu menjadi lelaki paling beruntung di dunia.

Ketika ada yang menetes dari pelupuk matanya, hapuslah segera. Jangan biarkan wajahnya sembab dan hidupnya layu, karena bertengkar denganmu. Dia adalah perempuan yang menyerahkan hidupnya untuk kamu nahkodai, dan mengabdikan waktunya untuk membahagiakanmu.




Kalau berantem sama pasangan, jangan lama-lama ya...hidup ini terlalu indah jika untuk dihabiskan bersama amarah.
Read More

© I'm Fireworks!, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena