Mumpung di Korea masih suasana musim dingin, saya share cerita dari Lidya Eonni, dimana sebenarnya cerita ini sudah pernah di-post melalui One Fifty Hijab Style, ini versi aslinya.
Awal minggu lalu, salju mulai turun di
Korea. Orang-orang mulai merapatkan jaket, membeli sarung tangan, dan topi atau
penutup telinga. Tapi bagi Lidya, seorang mahasiswa S2 (sekarang alumni) di
Dongguk University, ia tak perlu ribet dengan topi atau penutup kepala untuk
menahan udara dingin. Ya, karena ia berhijab.
Menelusuri kisah Lidya Eonni, begitu kami
di One Fifty memanggilnya, saat menimba ilmu di Korea cukup membuat merinding.
Bersyukurlah kita hidup di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam,
tapi justru kadang membuat miris juga karena beribadah di negara ini bukan lagi
suatu kemewahan, melainkan sebuah hal yang taken
for granted.
Lidya Eonni bercita-cita menjadi dosen,
dan keterbatasan dana dan kemampuan *ini dia yang bilang lhooo, hihi*
membuatnya urung mendaftar S2 di universitas negeri ternama di Indonesia. Dan,
kalau sudah rezeki memang gak kemana, beasiswa di program Study and Research,
Sustainable Architecture, Dongguk University berhasil diraihnya #JadiPengen.
Tips pertama yang dibagi sama Lidya Eonni
dalam mempersiapkan diri menghadapi dunia baru adalah ber-husnudzon pada Allah.
“Saya berangkat dalam keadaan gelas kosong yang siap diisi dengan ilmu,
kebahagiaan, kesedihan apapun yang terjadi di sana.”, ujarnya. Subhanallah.
Ber-husnudzon pada Allah ini ternyata
banyak membantu Lidya Eonni dalam melewati hari-harinya di Korea. “You are what
you think,” katanya. Dan itu juga yang terjadi dengan penampilannya, seperti
yang ditanyakan oleh kami, apakah orang-orang memandangnya aneh dengan hijab.
“Saya tiba di Korea itu 2010, waktu itu
Korea masih baru-baru membuka hubungan dengan dunia luar. Jadi foreigner itu
bisa dihitung. Tapi hijab malah menjadi ice breaker buat saya, untuk membuka
percakapan dengan orang-orang sana..”
Bagi Lidya Eonni, menjadi muslim dan
berhijab itu bukan sekedar berpakaian yang ‘lain’ dari orang-orang disana, tapi
ia berperan sebagai duta Islam. Perilakunya diharapkan mampu membuat
orang-orang menyukai orang-orang Islam.
“Dilihatin dari ujung kepala sampai ujung
kaki pasti sering lah, kalau ibu-ibu ya saya senyum saja, mereka biasanya
bilang ‘yeppo’ (cantik). Bukan soal cantiknya yang buat saya bahagia, tapi
sangat lega karena setidaknya mereka berpikir bahwa wanita Islam itu ramah dan
menarik.”
Hijab itu identitas, dirasakan sekali
oleh ibu cantik yang pernah menjadi Tutor di Universitas Terbuka di Korea.
Dengan hijab, ia mendapat banyak kesempatan seperti sering di-interview oleh
TV, dan menjadi penjaga untuk hal-hal yang tidak diinginkan.
Di Korea, seperti kita tahu, budaya
bermabuk-mabukan sangat biasa, sehingga hijab membuat teman-teman Lidya
memahami dan tidak mengajak Lidya ke pub-pub. “biasanya kalau makan-makan
bareng waktu weekend, saya selalu disuruh pulang duluan.”, candanya.
(to be continue)
0 komentar:
Post a Comment