Yang follow
Twitter saya, mungkin tahu kalau beberapa hari yang lalu saya geram dengan
sebuah post di forumnya salah satu website wanita yang (katanya) paling kece di
Indonesia.
Post yang pertama sudah agak lama, akhir tahun lalu. Tapi ketika saya baca, seketika
saya langsung emosi dan mendadak badan saya berubah menjadi besar dan hijau *eh
itu Hulk* Oke, garing ya. Makanya saya ga pernah coba stand up comedy, tahu
diri kalau cocoknya jadi pendamping Eddie Oppa aja. Yuk mari.
Jadi, di forum
itu ada seorang perempuan yang berstatus sebagai ibu tiri, dan dia merasa bahwa
anak dari suaminya tersebut kerap mengganggu ayahnya dengan ‘persoalan sepele’
seperti beli mainan, beli tas, hingga beli pulsa. Padahal menurutnya, tunjangan
bulanan tersebut sudah sangat lebih dari cukup untuk seorang anak kelas 3 SD. Saya
memang tidak membaca hingga akhir cerita, tapi dari beberapa halaman saya dapat
menyimpulkan secara kasar bahwa si ibu tiri tidak mau kalau anak ini datang ke
ayahnya kalau ‘ada maunya saja’. Si ibu tiri berharap istri terdahulu dari
suaminya tersebut bisa mendidik anak itu menjadi lebih dekat secara emosional
kepada ayahnya, lebih dari sekedar masalah uang.
Overall, saya
menangkap maksud baik dari wanita ini, meski penyampaiannya pada post pertama
terkesan sangat egois. Hanya kemudian setelah saya bisa berpikir agak jernih,
ternyata kasus seperti ini masih sering sekali terjadi ya sister. Oleh karena
itu, saya pikir saya bisa membagi sedikit pandangan (dan pengalaman) saya
mengenai peristiwa ini.
Tulisan saya sendiri masih dalam proses penyempurnaan,
karena saya berusaha keras untuk memberikan gambaran efek dari peristiwa
perceraian ini untuk berbagai pihak: anak tiri, ibu tiri, ayah kandung, ibu
kandung, dan saudara tiri. Mungkin akan bertahap ya. Tapi, sebelum nantinya
saya mem-publish tulisan saya, ada baiknya sister baca dulu pernyataan saya
dibawah ini:
- Tulisan ini bukan bermaksud untuk membuka aib keluarga. 2013 gitu lhoh, buka aib orang is so last year. Kesalahan dan kekurangan biar diri sendiri aja yang ngerasa, nanti juga di Hari Akhir semuanya ditampakkan di Pengadilan-Nya. Gusti Allah mboten sare, nggih ;)
- Setiap perceraian adalah kasus per kasus. Tidak ada satupun solusi yang sama yang bisa diaplikasikan ke semua perceraian. Jadi tulisan saya mungkin tidak bisa digunakan untuk beberapa kasus perceraian lainnya.
- Saya bukan seorang ahli dan tidak sedang berpura-pura menjadi ahli di bidang ini. Untuk saran yang lebih bertanggungjawab, silahkan menghubungi pemuka agama, psikolog, pengacara – orang-orang dengan profesi terkait.
- Jika sister memiliki sanggahan, monggo disampaikan dengan santun ke email primaditarahma(at)gmail(dot)com. Saya menerima dengan lapang dada semua kritik tentang tulisan saya ini, mengingat ini adalah pertama kalinya tulisan serius saya di blog ini.
Semoga kita semua diberi akal sehat dalam mengambil
keputusan mengenai apapun, termasuk dalam menyikapi tulisan saya.
Terima kasih dan
silahkan menuju ke post pertama saya.
Love,
Prima
0 komentar:
Post a Comment