Sebelum membaca
posting ini, tolong baca kata pengantarnya dan bagian pertama ya ^^
---
Kecuali memang
pria itu terlalu tinggi hati, atau memang sakit jiwak, hampir semua duda
belajar banyak dari sebuah perceraian.
Ada pepatah lama dari Vietnam yang
berbunyi, “a man divorced once is a
golden egg, and a man divorced twice is a rotten egg”
Jadi sebenarnya,
for you ladies who married a widower, actually, you’re such a lucky woman. Yup,
karena seorang duda akan sangat berhati-hati pada pernikahannya yang kedua. Sebisa
mungkin dia akan mempertaruhkan apapun agar…tidak bercerai lagi.
Nah disinilah
biasanya duda yang memiliki anak dari pernikahannya yang terdahulu menghadapi
dilema. Di satu sisi, dia ingin move on bersama keluarga barunya, tapi di satu sisi
dia pasti tetap memiliki perasaan terhadap anaknya. Sepanjang pengalaman dan
pengamatan saya, jujur saja, memang lebih baik anak korban perceraian ikut ibu
kandung daripada ayah. Pun
ketika ibu bekerja, biasanya perhatiannya lebih bisa dipertanggungjawabkan. I’m
sorry to all daddies around the world to say this, but you just really can’t
handle it.
Seorang ayah
harus punya suatu prinsip bahwa anaknya tetap anaknya, meski secara fisik tidak
ada didekatnya. Hal ini biasanya berujung pada masalah finansial. Begini maksud
saya. Seorang duda, ketika dia single, there’s nothing that he needs to spend
on instead of his needs and his children’s needs. Misal: gajinya 5juta, ketika
bercerai, dia bisa dengan mudah membagi 2,5juta untuk dia; dan 2,5 juta untuk
anaknya.
Ketika dia
kemudian berkomitmen untuk membangun keluarga baru, tibalah dia kemudian
berpikir “wah, saya mesti mikirin keluarga baru nih. Jatah anak saya harus saya
kurangi..” Lha kok, bukannya: ““wah, saya mesti mikirin keluarga baru nih. Saya
harus kerja lebih keras untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan keluarga tanpa
harus mengurangi jatah anak saya.” Gimana menurut sisters?
Seorang ayah
harusnya berpikir, “anak saya yang disana butuh jatah lebih banyak daripada
anak saya yang tinggal sama saya. Karena saya butuh menunjukkan keberadaan
saya!” Keberadaan ini tidak harus jatah uang lho sister, tapi begini,
semestinya ia memberikan hal yang sama dengan yang ia berikan kepada
anak-anaknya dari pernikahan selanjutnya. Misalnya anak-anaknya yang sekarang
sekolah di sekolah elit, bisa memiliki kegiatan ekstrakurikuler, memiliki
asuransi kesehatan, dan lain-lain; ia berikan juga kepada anak dari pernikahan
sebelumnya.
Nah, asas
keadilan perlu ditegakkan disini. Tentu saja tak akan sama pada keluarga yang
tinggal bersama dan terpisah. Misalnya saja seorang anak yang saat kuliah
memilih ngekos. Kalau ia tinggal di rumah sendiri, katakan sehari bisalah cukup
10.000-20.000, karena ia makan ikut orang tuanya. Tapi anak kos kan
makannya beli sendiri di luar, ga ikut ibu kos? Jadi tidak cukup ia diberi
10.000-20.000.
Demikian juga dengan anak korban perceraian. Sama saja
dengan logika anak kos tadi. Kalau anak yang tinggal di rumah uang sakunya
cukup 10.000-20.000, anak yang tidak tinggal bersama seharusnya diberi lebih
banyak, tentu lagi dengan menyesuaikan kebutuhan si anak.
Bagaimana semisal mantan istri cukup mampu membiayai si
anak, atau bahkan sudah bersuami lagi? Apakah
kemudian kewajiban ayah kandung berkurang? TIDAK SAMA SEKALI.
Justru a true
gentleman akan terluka egonya kalau tahu si anak kandung lebih dekat dengan
ayah tirinya. Misalnya si ayah tiri membelikan motor, wah kalau bisa ayah
kandung membelikan mobil. Mestinya sih.. Hehehehe.
Jangankan ayah
tiri, seorang ayah sejati kalau dibandingkan sama pacar si anak perempuan yang
baru 6 bulan ini kenal, coba tanya perasaannya?
Yang aneh sister,
9 dari 10 janda yang telah memiliki anak, punya prinsip dalam menikah lagi:
“mau sama saya, harus terima anak saya juga.” sedangkan sebaliknya hanya 1 dari
10 duda yang mengemukakan hal ini *riset ngaco saya sendiri* Karena apa? Karena
anak korban perceraian umumnya diasuh ibu, sehingga si ayah tidak ‘terlihat’
memiliki ‘tanggungan’. Lihat bedanya kan?
Dalam perceraian, ibu dan anak adalah satu paket, sedangkan anak adalah
‘tanggungan tidak terlihat’ untuk ayah.
Duhai ayah,
seandainya engkau ingat bahwa doa anak yang sholeh-lah yang bisa menolongmu
pada hidup sesudah matimu nanti.. Niscaya tidak akan ada duda-duda yang sibuk
mengurangi jatah bulanan anak kandungnya..
Oleh karena itu,
para ibu tiri, saya mohon dengan kerendahan hati saya, ingatkan suami anda akan
hal ini. Bahwa kewajibannya menafkahi anak kandungnya akan dimintai pertanggungjawaban
di hari akhir nanti..
Jangan
sebaliknya, meminta ia memilih anda atau anak kandungnya. Anda telah melukai
hati seorang anak yang tidak pernah meminta keadaan ini, menghilangkan satu
kesempatan suami anda mendapatkan doa yang teramat tulus…dari darah dagingnya.
Pun jika sang suami malah lebih memilih anak kandungnya, bukannya anda yang
akan malu sendiri?
Dan kalaupun anda
begitu berkeras hati membiarkan semuanya terjadi, dan memang karma tidak
membalas anda di kehidupan ini.. Ada
dua hal yang akan terjadi: anda turut berkontribusi dalam kehancuran masa depan
seorang anak, atau di sisi lain, one day anda akan melihat seseorang yang
begitu bersinar di masa depan karena telah dikecewakan masa lalu. Dan ketika
anak anda berada di puncaknya, suami anda, yang memilikinya tidak memiliki
kesempatan mendampinginya.
Wuih serem yes.
*background music-nya kayak di film horror*
But it’s true,
you can’t agree more with me, right?
Sekarang, silahkan pilih, wahai para ayah kandung dan ibu
tiri di luar sana.. memutus
jalan keberhasilan si anak, dimana hal itu merupakan haknya. Atau……
Mendampingi si anak meniti kesuksesannya?
Love and hugs,
Prima
(to be continue)
Again mbak, what a beautifully written article :') semoga si istri mantan suami ketemu artikel ini :')
ReplyDeleteKadang serba bingung harus bagaimana anak atau istri hmmmm bingung
ReplyDelete