World Through my Words

Tuesday, March 21, 2017

[Fiction] Firasat

Kamu menerawang, memandangi sebuah foto yang mulai usang. Potret kelulusan SMA, dengan seragam dicoret-coret dan senyum bahagia. Sebagai seseorang yang mengenalmu bertahun-tahun tentu aku ingin tahu. Bagaimana sebuah kepingan kenangan yang telah terlewati belasan tahun lalu, masih tersimpan rapi?

Duduk di sisimu, aku mulai bertanya. Apakah ada cerita istimewa di balik selembar potret yang sudah terlipat di berbagai sudutnya. Kamu menoleh, dan memulainya dengan suara lirih. Ini bukan sekadar memori sederhana, tapi sebuah jawaban kenapa selalu ada lubang di hatimu yang tak pernah bisa kututup dengan apapun.

"Aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya firasat, jika bukan karena kejadian hari itu. Satu bulan sebelum ujian akhir dimulai, dan tak terbayangkan jika dia tidak mengajakku pulang."

Tanpa ada keinginan untuk menyela, aku membiarkanmu membuka sebuah buku berdebu yang sudah tertutup lama, mengingat masa lalu yang ingin sekali kamu lupa.

"Kamu kelas satu kan dulu pas aku kelas tiga? Mungkin kamu masih ingat, dulu ada lomba antar sekolah dan suporter SMU lain membawa rokok dan miras ke kantin kita. Teman-teman mengajakku untuk ikut menikmatinya. Tentu saja jawabannya adalah iya, namun baru melangkahkan kaki ke halaman belakang, Hana datang ke kelas dan dia mengajakku pulang...Dia bilang kalau butuh tebengan karena tidak membawa motor sendiri."

Jantungku berdegup kencang, jadi ikut menggali ingatan dan melempar diriku ke hari itu.

"Lalu kami pulang, kemudian aku terpikir untuk kembali ke sekolah. Namun entah kenapa saat sampai di rumahnya, rasanya belum ingin beranjak. Memandangi wajahnya yang masih segar meski terik siang mengalihkan semua rencanaku untuk bergabung dengan teman-teman. Akhirnya hingga sore hari, kami menghabiskan waktu di teras rumahnya, memainkan gitar dan bernyanyi seperti biasanya."

Kisah terus berlanjut, ternyata teman-temanmu tak lulus ujian sekolah karena ketahuan melakukan tindakan di luar batas kala itu. Saat pengumuman kelulusan, Hana datang dan memandangmu dengan mata berbinar serta senyum menawan. Dia tidak pernah menyangka bahwa ajakannya untuk pulang bersama, ternyata menyelamatkan kekasihnya dari tragedi buruk.

"Sekolahku selesai, berarti kami akan berpisah. Usai merayakan kelulusan dengan teman seangkatan, rupanya dia masih menungguku di taman sekolah. Firasatnya membuatku sadar bahwa cinta kami lebih dari sekadar cerita masa SMU. Sejauh apapun nanti pergi untuk kuliah, kehilangannya bukan pilihan. Dan ya, kami menjalani hubungan jarak jauh yang semakin membawa banyak alasan kenapa aku dan dia, adalah simpul mati yang ditakdirkan tak terurai lagi."

Dengan kondisi serba sulit, kalian bertahan diterpa banyak sekali ombak besar. Hingga Hana sakit dan koma, bermodalkan sisa-sisa rupiah yang kamu punya, jarak kotamu dan tempatnya dirawat seolah tak jadi masalah. Seperti nyawa sudah berada di ujung kuku, ketika akhirnya ia membuka mata, ada rasa lega tak terkira akhirnya merebak di hatimu.

Bagian demi bagian terus mengalir, aku kini mengerti kenapa Hana bukan hanya perempuan di masa lalumu. Dia adalah firasat penyelamatmu, kamu adalah semangat di alam bawah sadarnya. Masih ada satu fotomu bersamanya tersimpan di selipan buku, sebuah kenangan yang kamu tahu tak bisa terulang lagi di masa depan.

Memelukmu dengan hangat, adalah satu-satunya cara membuatmu tahu bahwa cintaku juga setulus itu. Dia adalah cuilan yang hilang dari hatimu, seumur hidup mungkin tak tertutup. Melepasnya pergi selamanya, adalah pukulan terhebat yang menghantam seorang Prama.

Bagimu, Hana tak terganti. Bagiku, hal tersebut membuatku sadar bahwa kamu bisa mencintai hingga sedalam samudera.

Setiap minggu, buket bunga di makam Hana selalu diganti dengan yang baru. Aku tahu, itu kamu. Firasatnya membawamu punya kehidupan lebih baik di hari ini. Cintamu, membawa kedamaian untuknya hingga akhir waktu.

Inspired by Firasat-Dee
Read More

Minutes to Midnight

Tinggal di lantai dua, lengkap dengan balkon plus suhu udara dingin membuat malam ini terasa berbeda. Dua hari penuh nggak keluar kosan sama sekali karena demam ditambah sakit kepala (udah macem iklan obat aja), menghirup segarnya oksigen yang tidak tercampur asap sepertinya jadi ide bagus. Setengah dua belas malam, saya beranjak menuju beranda lantai dua.

Hampir tidak ada kendaraan lewat di jalan depan, hening dan tenang. Ditemani kemerlip lampu dari menara apartemen depan, iPod di genggaman serta secangkir teh tarik, saya menarik kursi dan duduk di balkon. Mensyukuri hidup ada banyak cara dan salah satunya memang sesederhana ini.

Bali selalu menjadi rumah kedua yang nyaman untuk dikunjungi kapan saja. Malam ini, saya mendapatkan suasana itu, hanya beberapa meter dari kamar. Tepat saat lagu Everglow mengalun dari iPod ke telinga, ikut bernyanyi dan tersenyum selalu berhasil membawa kebahagiaan tersendiri.

Betapa hidup penuh dengan warna dan rasa, mengalir bagai air setiap harinya. Pahit manis, hitam putih, menyatu dalam nadi hingga kita mati. Di balik setiap beban ataupun pikiran, ada hikmah dan pelajaran untuk membuat diri jadi lebih dewasa, dari waktu ke waktu. Menjalani sisa usia  sepenuh hati, sepertinya menjadi pilihan paling tepat.

Ketika jenuh dan problema datang bersamaan, pernah terpikir untuk lari kemudian memulai sesuatu yang baru. Lalu apakah menutup paksa sebuah cerita lantas ke depannya semua baik-baik saja? Jawabannya adalah tidak. Selesaikan, biarkan jadi masa lalu, bukankah seharusnya begitu?

My friend said: masa lo gabisa sih melewatin masalah? lo jauh lebih hebat kali daripada beban hidup.

And it was true, seberat apapun itu akan hadir sebuah jawaban untuk mengakhiri semuanya jika kita mau berusaha. Someone also said: apa yang terjadi hari ini, biarkan tertinggal, tak perlu dibawa hingga esoknya. Yes, move on!
Masih sembari mendengarkan lagu-lagu terputar secara acak, perlahan senyum semakin mengembang. Ada banyak percakapan di Whatsapp, dengan teman dan keluarga. Isinya bercandaan, curhat, nyinyirin Ayu Tingting (((penting ya))) yang terakhir tentu saja bertukar cerita. Terlepas dari pekerjaan, ternyata saya masih punya kehidupan.

Cangkir sudah kosong, baterai pemutar musik sudah hampir habis dan beberapa menit lagi hari akan berganti. Saya beranjak, masuk ke dalam dan menutup pintu. Mengawali Selasa dengan tenang dan nyaman, sepertinya minggu ini bersahabat sekali.

21/3/2017
Read More

Monday, March 6, 2017

[Startup Series] Jadi Ibu Merupakan Pelajaran Seumur Hidup

Beberapa tahun, saya di posisi staf yang notabene tanggungjawabnya berkutat pada tugas diri sendiri saja. Selesai ya pulang dan apapun yang terjadi di kantor saya tidak perlu tahu. Pokoknya waktunya gajian ya nerima transferan, ada perubahan aturan ya diikuti. Hingga tanpa direncanakan sebelumnya, mendapat amanah untuk menjalankan pekerjaan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Menjadi team leader, langsung di bawah CEO yang artinya semua staf yang pekerjaannya berkorelasi dengan konten (sempat di Boombastis, lalu ke Selebupdate, lalu ke Travelingyuk) adalah tanggungjawab saya. Dari sinilah, perjalanan sebagai seorang ibu dimulai. Ternyata, memimpin dan membuat sistem saja tidak cukup. Butuh lebih dari sekadar mengkoordinasi dan manajemen.

Tentu saja lamaa sekali saya masih bodoh dan banyak salahnya. Marah dan emosi adalah teman akrab sehari-hari, sampai pada titik capek sendiri. Begini amat sih cari duit, itu yang ada di dalam pikiran. Akhirnya membangun tembok, malas-malasan berkomunikasi. Jika ada kondisi yang tidak sehat, mulanya memang dari diri sendiri.

Bertambah umur itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Perlahan saya mulai melihat apa yang bisa dilakukan agar kondisi membaik dan meminimalisir hal-hal yang tidak enak. Pertama, anak-anak di kantor bukan musuh saya. Kami keluarga dan bekerjasama untuk membuat apa yang dikerjakan ini berhasil. Jika terkadang merasa sebal satu sama lain itu hal yang biasa. Namanya manusia, berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Kedua, belajar untuk lebih rileks dan profesional. Santai saja karena masalah tentu akan datang silih berganti, selama bisa dihadapi dan diselesaikan maka jika sudah ya sudah. Profesional, tidak perlu sungkan untuk berbicara dan diskusi. Jika memang ada yang butuh ditegur, sampaikan saja dengan bahasa yang santun. 

Ketiga, melihat anak-anak sebagai manusia seutuhnya. Sama seperti saya yang punya hidup di luar kantor, mereka juga kan? Bisa jadi di rumah ada beberapa masalah atau kemungkinan lainnya yang membuat sikap mereka berbeda atau pekerjaannya tidak sesuai harapan. Mesin saja bisa diperbaiki, apalagi manusia yang bisa berkomunikasi? Tidak perlu khawatir.

Mengayomi mereka, mengerti dan mengenal satu persatu dari individu ini. Watak dan sifatnya bermacam-macam, rupa-rupa juga problematikanya. Berusaha untuk memahami dan tidak terjebak dalam kondisi tidak mengenakkan, adalah pelajaran seumur hidup yang ternyata menyenangkan. Kondisi jadi lebih kondusif, mulai saling memahami posisi dan juga situasi.

Hari-hari jadi lebih terasa istimewa, hubungan antar personal juga membaik. Di kantor, mbak Tita adalah Ibu yang mendengarkan aneka cerita mereka, dan kesulitan yang mendera. Managing tim agar semuanya berjalan sebagaimana mestinya, agar apa yang yang direncanakan tercapai. Di luar, mbak Tita adalah manusia yang bisa diajak nonton atau ngobrol ringan, bahkan mungkin berteman. Ternyata mbak Tita juga suka jajan lalapan geprek yang pedas dan jajan cilok. No longer become stranger each others.

Sampai hari ini, belajar menjadi Ibu bagi anak-anak kantor tetap saya jalani. Kadang masih merasa lelah atau putus asa, tapi naik turun dalam dunia kerja itu biasa. Tidak apa-apa, justru di situ tantangannya bukan? Anak-anak belajar untuk mengerti saya, dan begitu juga sebaliknya. Dunia ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menggerutu dan tidak bahagia.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar jadi lebih baik. Jika hari ini saya masih ada kekurangan, semoga besok sudah bisa diselesaikan. Begitu terus, keep moving! :)

Regards
Titasya
Read More

Saturday, March 4, 2017

[Startup Series] Satu Hal yang Tak Bisa Dicuri

Nothing new under the sun. Semuanya merupakan recycle atau amati tiru dan modifikasi dari yang sudah ada. Wait, bagaimana jika hanya sampai di fase amati dan tiru? Bisa jadi, mendekati penjiplakan bukan? Hampir tidak ada juga 1 bisnis yang berjalan sendiri tanpa pesaing. Whatever you named it, rata-rata ada kompetitornya meski dalam skala jauh lebih kecil.

Masalah contek mencontek ini, udah biasa dan sulit untuk dihindari. Ya bagaimana, ketika kita membangun satu hal yang potensial dan ternyata disukai banyak orang, kita seperti menyalakan tanda bagi keramaian untuk melihat. Ketika dianalisa, oh bisa dimonetize nih, maka voila! Bisa jadi esok harinya, sudah ada pihak lain yang membuat sesuatu yang sama persis. Yeah, welcome to real life.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Well, kita tidak bisa mengendalikan hal tersebut. Tapi kita bisa menjaga internal sendiri, agar jangan sampai mati ketika ada kompetitor datang dengan 'barang jualan' yang sama atau bahkan dengan 'amunisi' yang lebih besar. Di sinilah letak pentingnya diferensiasi.

Kami (CEO, saya dan team holding company di Jakarta) mendiskusikan hal ini beberapa kali. Jualan nasi goreng dan menambahkan telur ceplok di atasnya, itu bukan diferensiasi. Penjual lain masih bisa mengejar menyuguhkan keistimewaan yang sama, tanpa menunggu waktu lama. Ini sempat jadi pe er bagi saya dan CEO, karena jawabannya akan menjadi salah satu kekuatan terbesar travelingyuk.com nanti ke depannya.
Orang lain bisa esok hari membuat website serupa dengan travelingyuk.com , kalau perlu membajak semua team yang ada di kantor kami. Namun ada satu yang tidak bisa dicuri (jika membahas soal koten), yaitu core idea yang ada di otak saya sebagai Chief Content Officer di sana. Ketika hari ini saya dan team menyajikan artikel bertema umroh backpacker, jeda beberapa jam mungkin saja sudah muncul di website lain. Tapi konsep menjiplak total tanpa modifikasi, ujungnya akan seperti itu terus. Tertinggal satu langkah di belakang, mengekor apa yang kami lakukan setiap harinya.

Kreativitas itu perlu, dan penting dalam aspek apapun. Ada banyak website media online di dunia ini, tidak sedikit yang mirip-mirip sehingga merasa membaca hal yang sama di beberapa tempat. Tapi toh, mereka yang mau berkreasi dan meluangkan waktu untuk berpikir membuat inovasi, bertahan di tengah peperangan persaingan yang ketat.

Jadi, jangan takut dengan persaingan dunia bisnis yang kejam. Friend is friend, but money is money my friend. Kita tentu pernah membaca beberapa orang yang awalnya adalah sahabat bahkan membangun bisnis bersama, pecah kongsi dan bisa jadi tak lagi mau kenal satu sama lain hingga bertahun-tahun. Teman saja bisa seperti itu, apalagi orang lain yang bahkan kita tidak kenal?

Saya tentu terkadang masih pesimis. Waduuuhh si ituh tuh budget bulanannya setinggi langit. Si ituh yang satunya lagi, teamnya ada ratusan. Et cetera, et cetera. But hey, terus kenapa? Tuhan saja tidak membatasi kok, siapa saja boleh berbisnis dan membangun sesuatu. Percaya pada diri sendiri itu perlu, dan yakin juga penting. Sekali lagi, usaha tidak akan mengkhianati kita. Apa yang ada di dalam pikiranmu, itulah yang menjadi kekuatanmu.

Bukan masalah jika kompetisi begitu berat di luar sana. Lakukan semuanya dengan cinta dan ketulusan. Tidak perlu berbuat curang atau hal-hal buruk lainnya. Berjalan yang lurus, melompat lebih tinggi dan temukan diferensiasi. Sampai sekarang, Indomie masih laku kok di mana-mana meski Mie Sedaap sudah menggerogoti pangsa pasarnya meski belum banyak. Karena apa? Indomie tidak berhenti berinovasi, siapa yang sudah icip-icip varian-varian terbarunya? #raisemyownhand :))

Team di kantor bisa rontok satu persatu, masalah datang silih berganti sudah pasti. Tapi jika otak terus mengeluarkan inovasi yang menarik, maka mereka yang amati dan tiru, tak akan bisa mengejarnya. Be positive, go ahead!


Regards
Titasya
Read More

© I'm Fireworks!, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena